Biasanya saya kalau bepergian jauh selalu gandeng renteng dengan pak suami, kali ini saya mencoba ‘menguji nyali ‘ pergi berdua saja dengan bocah yang masih tahap toilet training, walaupun tujuan juga tidak jauh, Surabaya – Balikpapan dengan perkiraan waktu terbang sekitar 2 jam tetep saja..dag dig dug..plas.
Perjalanan ini saya lakukan sekitar bulan Februari tahun 2018.
Beberapa minggu sebelum keberangkatan, saya mulai mempersiapkan segala hal yang diperlukan, mulai dari tiket, barang bawaan dan mempersiapkan diri jika muncul hal-hal yang tidak diinginkan, misal anak rewel gak mau jauh dari bapaknya, muntah, pipis atau tiba tiba BAB ( buang air besar ) di pesawat.
Mendekati hari H keberangkatan, munculah kekhawatiran yang membuat saya mulai sedikit gak pede, karena ini pertama kalinya saya bepergian berdua saja menggunakan transportasi udara bersama bocah yang lagi lincah-lincahnya, bisa gak ya? terus kira-kira di pesawat rewel gak ya ?
Mempersiapkan Barang Bawaan
Karena khawatir, membuat saya lebih berhati-hati lagi dalam menyiapkan segala sesuatu, seperti barang bawaan, sebisa mungkin ringkas dan tidak menyusahkan, agar kedua tangan saya bisa bebas menggandeng atau menggendong si bocah, ketika diperlukan.
Tas ransel dan slempang jadi pilihan dibanding kopor, kedua tas tersebut saya bawa masuk kedalam kabin, agar tidak menunggu lama antrian bagasi, lagipula saya gak mau ambil resiko anak rewel karena bosan, oleh karena itu satupun barang tidak ada yang masuk bagasi.
Tas Ringkas, Semua Barang Dipaketkan Dan Baju Anti Ribet
Sebagian baju, terutama pakaian si kecil juga sudah saya paketkan ke alamat tujuan 5 hari sebelum keberangkatan, agar tidak terlalu berat membawa barang bawaan, untuk pakaian saya hanya membawa beberapa potong, karena saya pulang kerumah orang tua dan disana banyak pakaian yang sengaja untuk ditinggal.
Karena isi tas sebagian sudah dipaketkan, maka saya hanya membawa beberapa potong pakaian, beberapa mainan kesukaan Emil ( 2 buah puzzle kayu, mobil-mobilan, papan magnet dan beberapa buku cerita ), sepatu dan sandal ganti serta oleh-oleh, cukup ringan di punggung saya.
Baju juga seringkas mungkin, saya hanya memakai kaos longgar lengan panjang, celana jeans, jilbab instan dan alas kaki jenis sandal gunung.
Baca juga : Pengalaman Naik Pesawa Dengan Bayi 10 Bulan
Pakai Diaper
Walaupun Emil sudah bisa lepas diaper baik tidur maupun ketika jalan di dalam kota, lagi lagi saya belum pede, khususnya untuk perjalaan jauh menggunakan pesawat.
Dan pada akhirnya Emil saya pakaikan diaper lagi, untuk jaga-jaga daripada kebablasan pipis di bangku pesawat, walaupun begitu tetap selalu saya pipiskan terlebih dahulu sebelum berangkat dan selalu menanyakan jika merasa ingin BAK atau BAB.
Sounding ke Anak
Beberapa minggu sebelum keberangkatan, saya dan pak suami memberikan pengertian positif yang berulang-ulang ke Emil kalau nanti akan pergi berdua saja dengan saya.
Saya pun sempat membelikan mainan pesawat-pesawatan, menonton video tentang pesawat dan bercerita segala hal yang menarik dan positif, karena ketika itu Emil sempat menolak dan gak mau naik pesawat.
Kehebohan Sejenak – Pintu Scanner Bukan Mulut Monster
Di hari H akhirnya Emil mau naik pesawat
Sampai di bandara, saya lalu meminta pak suami membantu untuk melakukan chek-in, agar saya bisa langsung masuk tanpa harus berlama-lama mengantri. KTP dan KK ( kartu keluarga ) tak lupa di lampirkan, KK ini berfungsi sebagai tanda pengenal untuk bayi / balita, karena biasanya ditanyakan oleh petugas.
Setelah pak suami selesai chek-in dan menyerahkan boarding pass, saya pun menuntun Emil untuk masuk kedalam.
“ jangan lama lama disana ya Emil “ kata pak suami yang mengantar kami sampai di depan pintu keberangkatan.
“ heem, bapak tinggal di umah aja ya, mau ngecat umah ya..dadah “ kata Emil lagi
Pak suami pun menyium dan memeluk Emil.
Emil melambaikan tangan dan berjalan masuk beriringan dengan saya ke dalam pintu pemeriksaan, semua tampak lancar aman terkendali sampai sesuatu tidak saya duga terjadi, tiba-tiba Emil menarik tangan saya, berteriak menangis hingga klesotan di lantai.
Saya lihat kebelakang, sebagian pintu keluar tertutup badan para satpam yang tinggi dan tegap sementara pak suami hanya bisa diam dan melihat dari kejauhan, gak mungkin menolong saya yang sudah berada di dalam.
Emil masih klesotan heboh di lantai, “ gak mau..gak mau maak..pulang “ dan terjadilah adegan tarik menarik antara ibu dan anak di depan pintu scanner
Cemas donk saya, namun tetap berusaha mengendalikan keadaan, ternyata Emil takut masuk pintu scanner yang terlihat asing baginya karena berukuran besar, berdiri kokoh mengkilat dengan lampu berkedip kedip dengan mengeluarkan suara bip bip.
” gak mauuu..gak mau..!” Emil masih klesotan di lantai.
Sebagian tangan saya menahan tarikan tangan Emil yang meronta hendak berlari keluar dan sebagian tangan saya yang lainnya berusaha melepaskan ransel yang menempel di badan dan segera meletakannya di meja scanner.
Setelah tas yang menempel di badan saya lepas, saya langsung angkat dan peluk badan Emil yang masih meronta sambil tetap saya bujuk agar mau masuk dan melewati pintu scanner yang tampak mengerikan baginya, saat itu.
“ Emil..jangan takut..tuh lihat om , tante semua kalau mau naik pesawat lewat pintu ini..tuh kan ga papa kan “
Karena sebelumnya saya masih sibuk membujuk Emil, beberapa detik tas saya biarkan masuk begitu saja kedalam meja scanner, yang ternyata sudah berhimpit dengan tas-tas penumpang lainnya.
Sambil menggendong Emil saya berusaha meraih tas diantara desakan tas penumpang lainnya , seorang ibu berbadan besar tiba-tiba menyerobot badan saya dari belakang, tergesa mengambil barang-barangnya, tas ransel yang ingin saya ambil hampir terjatuh, untung saja ada petugas yang membantu.
Setelah melewati pintu pemeriksaan pertama, Emil mulai tenang, ringan berjalan sendirian, tidak takut melewati pintu pemeriksaan selanjutnya, untuk masuk di gate keberangkatan .
Sampai di ruang tunggu, saya tidak bisa duduk dengan tenang, Emil hanya bisa diam beberapa detik setelah itu kegiatan saya lebih banyak ngintilin kesana kemari, menjaganya agar tidak terpeleset, atau mengganggu penumpang lain, apalagi kalau penumpang tersebut terlihat tidak menyukai anak-anak.
” WOOW..PECAWAT !! ”
Mungkin Emil sangat ‘berisik’, untuk sebagian orang, sehingga beberapa penumpang yang sempat duduk disamping saya pindah dan memilih tempat duduk lain, dibanding harus duduk bersampingan dengan saya dan seorang balita yang sibuk naik turun dan say hai dengan anak sebayanya, bergelantungan di tiang pembatas kaca dan menanyakan segala hal-hal yang menurutnya sangat penting..
“ itu pecawat Emi ya ? “
“ maak..Emi mau naik pecawat itu “
“ Waoo..helicoper “
“ itu pecawatnya mau terbang maaaak “
Ocehan dan gerakan Emil hampir tanpa jeda, sehingga saya lebih sering menjawab “ iya “
Sangking antusiasnya Emil melihat pesawat dan segala aktifitas yang ada di bandara, wajahnya sampai dilekatkan ke kaca jendela, setelah itu bergelantungan di tiang pembatas kaca hingga terbentur sampai beberapa penumpang pun kaget, bukannya nangis atau berhenti, Emil hanya meringis lalu mengelus kepalanya dan tak lama meminta saya untuk menggendongnya naik di tiang besi.
Selagi meladeni Emil mengoceh sambil sesekali mengunyah makanannya, saya merasa mulai sedikit lelah dan khawatir kondisi seperti ini biasanya akan membuat saya mabok udara, apalagi terlihat dari jendela ruang tunggu mendung mulai bergelayut, beberapa pohon palem bergerak tertiup angin yang mulai kencang berhembus, ditambah lagi jadwal pesawat ternyata sudah lewat 15 menit dari jadwal seharusnya.
Beberapa penumpang terlihat mengkonfirmasi keterlambatan pesawat kepada petugas jaga, bertambah mulas perut saya, padahal pesawat yang saya pilih bukan pesawat yang sering delay heboh berkepanjangan.
Dalam kondisi tersebut, perasaan saya mulai tidak enak, ada sesuatu yang akan terjadi di tubuh saya. Ya tuhan, jangan sampai saya kedatangan tamu bulanan hari ini, saya tidak bawa pembalut, masak iya saya harus pakai diaper Emil.
Saya hanya bisa berdoa dalam hati saja agar semua perjalanan lancar dan tidak ada delay yang panjang.
Syukur delay pesawat tidak lama, penumpang mulai bergerombol dan mengantri untuk masuk kedalam pesawat, namun saya tidak ikut bergerombol saya memilih antrian paling belakang karena sedikit lengang.
Setelah masuk kedalam pesawat, Emil saya dudukan di kursi, sementara saya memasukan tas ransel ke dalam kabin, tas slempang yang berisi perlengkapan ‘tempur’ yang mungkin dibutuhkan Emil selama perjalanan saya letakan di luar, di bawah tempat duduk.
Awal mulanya saya ingin membawa bantal untuk travelling, tapi akhirnya saya urungkan, jadilah sebuah sweater tebal punya adik yang hendak saya kembalikan karena tertinggal di rumah, saya jadikan sebagai pengganti bantal selama perjalanan, camilan, minuman pun tak ketinggalan saya siapkan, sekaligus mengecek ketersediaan kantung muntah jika sewaktu waktu diperlukan.
Karena Emil sudah mendapat kursi sendiri serta tidak perlu dipangku lagi, maka Emil saya dudukan di dekat jendela, agar lebih memudahkan dia melihat pemandangan angkasa kebetulan saat itu kami mendapat kursi di tengah dan pinggir jendela, seatbelt saya lingkarkan di pinggang tanpa banyak pertanyaan yang meluncur dari bibirnya, saya hanya bilang.
“ kalau naik pesawat harus pakai sabuk ini, biar enggak kejeduk kepalanya, kalau kejeduk kepala emil bisa sakit “
“ jangan lupa berdoa ya, Bissmilahirohmanirohim “
Mulanya Emil duduk dengan tegak sambil mengunyah camilannya ia melongok ke luar jendela, bertanya ini itu, namun ketika pesawat mulai bergerak menuju landasan pacu, Emil perlahan menyandarkan kepalanya.
Tangan yang menggenggam bungkus wafer, perlahan terkulai di samping badannya.
“ maaa…Emi mau bobok “
Saya pun mengatur posisi sweater tebal yang saya gulung hingga menyerupai bantal, terlihat sekali kepalanya sudah terasa berat dan tak mampu untuk diangkat, dan akhirnya Emil terlelap.
Selama di pesawat, Emil selalu terpejam, beberapa pramugari mulai menjalankan tugasnya, menjual berbagai pernak – pernik pesawat, makanan dan minuman serta membagikan kantung-kantung kertas berisi roti dan air kemasan.
Saya rasa hanya maskapai lokal ini saja – Sriwijaya – yang mau membagikan makanan pengganjal perut kepada penumpangnya, selebihnya beli atau bawa sendiri.
Saya jadi ingat pertama kali merasakan naik pesawat di tahun 90 an, saat itu kami – saya dan bapak – menggunakan beberapa maskapai seperti Garuda, Merpati dan Bouraq untuk rute penerbangan domestik.
Saya masih ingat mereka menyediakan makanan yang lengkap, roti, nasi dengan buah buahan dan lauknya, minuman yang bisa kita pilih sendiri dan tentunya setiap penerbangan apapun jenis maskapainya mereka selalu menyediakan permen yang bisa kita ambil sesuka hati, untuk melegakan kedap di telinga.
Untuk sekarang mungkin hanya beberapa maskapai dengan rute dan kelas tertentu dengan tarif lumayan, yang mungkin menyediakan makanan untuk penumpangnya – koreksi jika saya salah
Kurang lebih 15 menit sebelum pesawat landing, Emil terbangun, namun dengan kepala tetap menempel di sandaran kursi, tiba-tiba terjadilah sesuatu yang saya khawatirkan
Emil berteriak cukup nyaring “ maaak..Emi mau PUP “
Ya tuhan,kalaupun masih lama di angkasa mungkin saya masih rela untuk repot bersempit ria dalam toilet pesawat, namun yang terjadi adalah beberapa menit lagi pesawat mau landing, lampu sabuk pengaman pun sudah dinyalakan.
“ maaa..Emi mau pup “ suara emil mulai sedikit melirih
Dan keluarlah kata yang sepatutnya tidak harus dikeluarkan orangtua ketika anak sedang proses toilet training
“ Emil pup di popok aja ya, pesawat sebentar lagi mau sampai nih “
Saya pun mengeluarkan minyak telon, untuk mengantisipasi kalau-kalau muncul aroma semerbak dari popok Emil yang bisa saja ‘mematikan’ iman para penumpang.
Sesekali saya mengendus celana Emil, tidak ada bau sama sekali.
Baca juga : Bepergian Dengan Bayi 7 Bulan Dengan Bis Antar Kota
Emil pun diam sambil tetap menyandarkan kepalanya di bantal, matanya kembali terpejam, yang saya khawatirkan Emil memejamkan mata karena merasa pusing dan mual, akibat tekanan udara di dalam pesawat yang bisa saja membuat kepala terasa sedikit berat.
Walaupun saat itu kondisi saya ternyata baik-baik saja, tidak seperti yang saya khawatirkan ketika di ruang keberangkatan, namun saya bisa merasakan hal yang sama ketika melihat Emil menyandarkan kepalanya, karena khawatir Emil terkena mabok udara, kantung muntah saya keluarkan dari tempatnya.
Alhamdullilah ternyata tidak terjadi apa-apa, pesawat akhirnya mendarat sempurna disambut langit Balikpapan yang tampak cerah.
Setelah pesawat berhenti sempurna, saya tidak langsung mengambil tas dan berdiri mengantri di sepanjang lorong, kami memilih untuk tetap duduk sampai antrian terlihat berkurang, gak usah takut dibawa terbang lagi hanya karena tidak ikut bergerombol di antrian keluar ya kan.
Ketika kami sudah berada di rumah, tamu bulanan yang sudah saya rasakan kedatangannya sejak keberangkatan kami dari Surabaya akhirnya datang juga, sedangkan Emil yang berteriak hendak pup di dalam pesawat ternyata tidak melakukan pup di popok dan baru bisa BAB keesokan harinya.
Hahha..lega..selanjutnya mau terbang kemana lagi kita nak 🙂
Berikut beberapa tips yang mungkin bermanfaat buat ibu ibu yang ingin bepergian berdua saja dengan anak khususnya balita yang cukup aktif.
- Pastikan kondisi anak dan ibu/orangtua sehat.
- Ibu/orangtua dan anak pakailah baju dan alas sepatu yang nyaman dan anti ribet.
- Pilih maskapai yang aman dan terpercaya – tentunya sesuaikan dengan budget.
- Bawa barang seringkas mungkin, kalau perlu paketkan terlebih dahulu barang ke tempat tujuan agar meringankan bawaan.
- Pilih waktu keberangkatan di jam ternyaman anak.
- Minta tolong suami / keluarga lain melakukan chek-in, hal ini untuk menghindari anak / balita bosan karena mengantri atau kalau tersedia online chek-in ini lebih baik
- Bawa kelengkapan surat seperti fotocopy identitas diri dan anak ( kk,akta,ktp,fc buku nikah )
- Sediakan tas khusus untuk keperluan anak yang berisi mainan, camilan, obat, dll yang bisa di keluarkan ketika di butuhkan secara cepat.
- Tidak perlu terburu-buru untuk naik dan turun dari pesawat
- Biarkan anak bermain atau mengekplore lingkungan sekitarnya, karena biasanya akan membuat anak lelah dan mudah tertidur dalam pesawat.
- Pakaikan anak pakaian yang nyaman dan cukup aman untuk menahan semburan hawa dari AC pesawat.
- Karena anak sudah bisa duduk sendiri, maka yakinkan anak dan beri sedikit edukasi sederhana tentang pentingnya mengenakan sabuk pengaman.
- Manfaat kan waktu transit untuk membawa anak ke toilet atau mengganti diaper
- Perhatikan secara baik cara-cara penyelamatan penumpang dan simbol evakuasi di dalam pesawat
- Bawa pembalut buat jaga jaga, walau nanti bukan untuk kita siapa tahu membantu para wanita di sekitar kita 🙂
Semoga pengalaman saya ini bisa dijadikan gambaran untuk para ibu yang ingin melakukan perjalanan berdua dengan si kecil ya, jika ada tambahan tips atau bercerita boleh banget berbagi di kolom komentar,
Terimakasih, semoga bermanfaat.
Aku pernah sekali bawa anak terbang pas umurnya 8 bulan. Dan jujur aja, itu bikin aku kapok :p. Wkt itu tujuannya ke sibolga, dari medan. Pesawat yg ada cm wings air. Kalo bisa milih, aku jg maleeees naik itu maskapai. Firasat jelek lgs bener, pesawat delay 3.5 jam lbh. Ini anak bayik udh super rewel krn g ada pawangnya si papi :p. Trs di pesawat dia nangis krn ga betah. Omg sudahlah… Sampe di sibolga, aku lgs bilang ama pak suami, “next time, aku ga mau cuma berdua aja ama nih anak. Harus ada kamu yg bisa nenangin” :p
Makanya selanjutnya, pasti ada pak suami stiap kali traveling bareng anak. Krn jujur aja dia memang jauuh lbh sabar dan telaten ngadepin anak kecil
waaaahh..gak kebayang repotnya itu mba, sumpah. pesawat delay, bayik rewel dan kita sendirian PASRAH..:(
Emil apa memakai earmuff juga Bund?
untuk menghindari nyeri telinga akibat suara bissing dan tekanan di pesawat?