Kurang lebih 2 jam lagi kereta kami tiba di stasiun tujuan, Emil yang sempat tertidur berulang kali, terbangun dan kembali melihat keluar jendela, namanya anak anak pasti ada rasa bosan, walaupun sepanjang perjalanan saya sebisa mungkin mengalihkan perhatian dengan bercerita apa saja pemandangan yang dia lihat, namun itu tidak berlangsung lama.
Emil mulai melihat kesekitar gerbong, mengobservasi, badannya mulai digerakan hendak berdiri dan mulailah penjelajahannya, jalan menyusuri gerbong, klesetan di lantai gerbong, berteriak kegirangan, naik turun kursi sehingga mengharuskan saya untuk berdiri dan mengikuti.
Untung saja, bangku di depan dan belakang kami sudah tidak ada penumpang, lebih tepatnya satu gerbong yang kami tempati mungkin hanya diisi sekitar 5 orang, satu persatu para penumpang tersebut turun di stasiun kecil yang disinggahi kereta hingga pada akhirnya, hanya kami bertiga saja dalam satu gerbong tersebut.
Karena gerbong kosong, Emil bebas melangkah sesuka hatinya, tanpa mengganggu kenyamanan penumpang lain, saya yang sudah cukup lelah mengikuti Emil pindah dari satu bangku ke bangku lainnya, membangunkan pak suami untuk beralih tugas menemani Emil.
Tips. Pakaian kan anak pakaian yang nyaman agar tidak membatasi ruang geraknya, jika anak menyukai mainan, sibukan dengan mainan ( bukan gadget ), agar tidak menggangu para penumpang lainnya.
Stasiun Banyuwangi Baru – Pelabuhan Ketapang
Kereta kami akhirnya berhenti di stasiun akhir, Stasiun Banyuwangi Baru. Kami bertiga lalu turun dan timbulah masalah baru, naik apa kita ke pelabuhan, masa iya jalan kaki sambil nggendong anak dan nyeret kopor , becak pun tak ada.
Hampir saja kami nekat melanjutkan jalan kaki, dengan resiko capai dan tertinggal feri, duh bagaimana ini, untung saja ada satu becak yang muncul dan menawarkan jasanya.
Saya lalu berbisik ke pak suami
“ ini abang becaknya mau gak ya bantu angkat koper sampai atas kapal, tambah harga ga apa apa deh”
Pak suami pun nego, untuk tambahan harga, agar abang becak mau mengangkat koper hingga dek atas, harga pun disetujui, kami bertiga akhirnya naik becak menuju pelabuhan feri, tas koper di letakkan di bagian belakang becak, antara dudukan depan dan tempat duduk abang becak.
Tidak sampai 5 menit, becak kami pun sampai di pelabuhan, kami pun segera mengantri untuk membeli tiket, di depan kami berdiri 2 orang turis satu wanita dan satu laki laki, usia sekitar 20 tahunan, di punggung mereka menempel ransel gunung ( carrier / keril ), saat itu saya langsung berpikir, lain kali kalo naik kereta lebih baik pakai tas ransel, begitu lebih praktis.
Setelah mengantri dan membeli tiket ( saya lupa harga tiket feri ) abang becak pun membantu kami mengangkat koper yang ternyata hanya sampai pintu kapal saja.
“ Lho, pak gak bisa sampai atas? “
“ Saya antar sampai sini saja pak, gak bisa sampai naik ke atas “
“ tadi katanya bisa pak “
Protes dong. Ya wis lah, dengan hati dongkol, kami mencoba ikhlas, pak suami pun akhirnya mengangkat kopor di atas bahunya, saya saat itu benar benar kasihan – lain kali bawa keril lah kalau naik kereta api, batin saya lagi.
Sambil memanggul koper dan menggendong ransel laptop di punggung, pak suami dengan cepat berusaha berjalan melewati himpitan badan motor dan mobil yang sudah berjejal masuk di dalam ruangan parkir bawah kapal. Sedangkan saya mengekor di belakang sambil memeluk Emil,berusaha secepat mungkin agar segera naik ke atas dek kapal dan terhindar dari bau asap knalpot kendaraan yang berjubel.
Tips. Jika anak masih di gendong, bawalah gendongan, seperti jarik , saya lebih suka jarik / selendang karena multifungsi, jika tidak terpakai bisa berfungsi sebagai selimut atau alas kepala.
Sampai di atas dek, ternyata bonus baru lagi buat kami, suasana dek kapal cukup ramai, pak suami dan saya tidak dapat tempat duduk, semua bangku penuh, beberapa orang juga lesehan di lantai kapal, sebagian lagi berdiri bersandar pada dinding dan tiang kapal.
Akhirnya kopor kami baringkan untuk dijadikan tempat duduk, agar sedikit mengurangi bau dari asap rokok dari beberapa penumpang, kami ambil tempat sedikit ke tepi, agar lebih banyak mendapat angin.
” ini gak ada yang inisiatif ngasih tempat duduk kah ? ” batin saya.
Pandangan saya alihkan ke beberapa pemuda dan bapak-bapak yang asyik ngobrol di kursinya, sebagian malah ada yang terkantuk-kantuk menikmati hembusan angin laut dan musik dangdut khas banyuwangian dari speaker kapal.
Entah lirik apa yang dinyanyikan, saya juga tidak paham, saya hanya berpikir keselamatan saja, apalagi saat itu kondisi kapal padat penumpang.
Semoga saja ombak bersahabat, karena terakhir kali saya naik feri yang sama, kapal terombang ambing ombak yang cukup tinggi, sehingga membuat perut mual dan muntah.
Tips. Bagi yang sering mabok perjalanan, ada baiknya minum obat anti mabok atau sediakanlah kantung plastik sebagai tempat muntah.
Tepat di depan kami duduk 3 laki laki bertato, yang satu bercelana pendek dan berkaos, sedangkan yang lainnya bertopi dan asyik menghisap batang rokoknya, sekilas saya perhatikan mereka tidak ada rapi sama sekali, sempat menengok sesekali ke kami, saya yang curiga mulai berhati hati.
Mereka asik mengobrol dan tertawa dengan temannya, kapal feri mulai bergerak pelan menjauhi dermaga, salah satu dari laki laki bertato itu pun berdiri, diikuti dengan beberapa kawannya, mereka lalu berjalan ke arah saya, segera saja saya suruh pak suami menggendong Emil dan tas berisi barang berharga, saya pegang erat.
Tips. Semua bisa terjadi diatas kapal, bukannya berburuk sangka namun ada baiknya lebih berhati hati dan jangan lengah.
“ Mbak silahkan duduk disini, kasihan mbak nya bawa bayi “
Saya yang saat itu masih duduk di atas kopor sambil mendekap tas hanya membatin “Ya, Allah ternyata cuman nawarin tempat duduk buat saya ”
“ oh ya mas, terimakasih “
Laki laki itu pun berlalu pergi bersama teman temannya, menuju belakang kapal.
Satu jam di atas feri, dengan ayunan ombak yang tidak terlalu tinggi, pak suami mulai menghubungi keluarga agar segera dijemput di pelabuhan Gilimanuk, Bali.
Kapal feri perlahan mulai merapat ke dermaga, beberapa penumpang berdiri dan berjejal di tangga, bau asap knalpot kendaraan mulai tercium, namun saya dan pak suami masih duduk di kursi sambil menunggu kapal benar benar berhenti dan sebagian penumpang turun.
Tips. Tetap tenang dan jangan terburu buru, tunggu sampai keadaan penumpang sedikit lenggang, agar menghindari kesemrawutan penumpang dan resiko tergelincir.
Setelah dirasa cukup aman, barulah kami perlahan menuruni tangga kapal, pak suami kembali mengangkat kopor di atas bahunya, setelah sampai di jalanan beraspal barulah kami turunkan roda kopor agar bisa di tarik.
” duduk disini aja dulu, nasi masih ada? ” tanya pak suami yang nampak kecapaian selepas mengangkat koper naik turun tangga kapal.
Saya pun mengeluarkan kembali bekal kami, masih ada sekepal nasi serta beberapa sendok tempe kering dan tahu goreng.
Kami pun duduk di dekat parkiran kendaraan, memakan sisa bekal. Emil juga saya suapi, dengan lahap ia pun memakan setiap suapan yang saya masukan ke mulutnya. kami memang sangat lapar.
Setelah bekal habis tanpa sisa, kami lalu melanjutkan jalan hingga ke parkiran bis umum, menunggu jemputan datang.
“Emil..Emil ”
Alhamdulilah, tepat menjelang magrib keluarga kami menjemput, badan rasanya lelah ingin segera mandi dan mengguyur, hingga hilang penat.
Begitulah, memang melakukan traveling dengan balita itu gak mudah, dan itulah sedikit pengalaman saya saat pertama kali membawa anak naik kereta api, seru dan banyak menemukan pembelajaran baru.
Semoga dapat memberikan sedikit gambaran bagi anda yang berencana mengajak anak traveling menggunakan kereta api khususnya ke Pulau Bali. Utamakan selalu kenyamanan dan keselamatan dalam perjalanan, Jangan lupa untuk berdoa sebelum dan selama perjalanan.
Terimakasih sudah membaca 🙂